Kepemimpinan Dari Dalam Diri Dan Berpijak Pada Keutamaan Hidup
Sumber foto: pixabay.com |
"Tulisan ini sebagai refleksi penulis tentang kepemimpinan"
Ada banyak krisis di Indonesia, krisis tersebut melanda berbagai bidang antara lain politik, ekonomi, sains, kesehatan, dan kemanusiaan. Krisis-krisis tersebut secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak yang negatif pada keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Kemungkinan krisis-krisis dalam berbagai bidang tersebut berakar dari adanya krisis kepemimpinan.
Bangsa Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang mampu mentransformasikan karakter, memberikan perubahan-perubahan strategis sekaligus yang dapat meningkatkan potensi-potensi individu yang dipimpinnya, efektif mengelola resources dan memiliki keinginan untuk aktif terlibat dalam proses inovasi serta memiliki semangat meraih/mengejar kesuksesan tanpa dominasi materialisme belaka.
Dengan demikian pemimpinan yang berkarakter akan lahir untuk dapat membawa perubahan dalam kebersamaan, berbangsa, dan bernegara.
Menjadi pemimpin yang ideal tidaklah mudah. Banyak orang yang berlomba-lomba menjadi pemimpin dan sedikit dari mereka yang benar-benar cocok menjadi pemimpin.
Buktinya banyak pemimpin yang berpijak pada kepentingan pribadi dan golongan, bukan berpijak pada keutamaan hidup. Menjadi pemimpin sebagai jembatan mencari keuntungan tanpa melihat kembali pada diri apakah saya mampu menjadi pemimpin atau tidak dari berbagai faktor.
Kualitas seorang pemimpin yang ada sekarang ini belum memenuhi harapan masyarakat pada umumnya. Hal ini bersumber dari kurangnya persiapan yang matang dari dalam diri sebelum menjadi pemimpin.
Menjadi pemimpin membutuhkan persiapan yang matang dari berbagai aspek sehingga benar-benar siap untuk menjadi seorang pemimpin. Menumbuhkan motivasi dalam diri seorang pemimpin menjadi sarat utama dalam mencapai tujuan kepemimpinannya.
Sejarah bangsa Indonesia dalam hal kepemimpinan tidak terlepas dari masa reformasi yang digalakkan pada tahun 1998. Keterbukaan itu tumbuh, dimana masyarakat Indonesia yang sebelumnya tidak berani berbicara menjadi berani untuk berbicara.
Masa keterbukaan tersebut membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya masyarakat bebas mengungkapkan pendapat dan dampak negatifnya kebebasan dalam mengungkapkan pendapat cenderung disalah artikan sehingga melahirkan masyarakat yang seolah-olah tidak takut pada pemerintah sebagai pemimpinnya.
Dampak negatif itu dapat dilihat dari berbagai aksi unjuk rasa yang terjadi di negara ini. Unjuk rasa seolah-olah menjadi alat agar para pemimpin menuruti kehendak kelompok yang berunjuk rasa.
Dengan demikian menciptakan pemimpin yang ragu dalam mengambil keputusan atau kebijakan tertentu karena takut menciptakan polemik dalam masyarakat.
Jiwa kepemimpinan harus bersumber dari dalam diri dengan motivasi yang tinggi untuk tujuan yang diinginkan bersama. Menjadi pemimpin bukan hanya karena kepercayaan yang diberikan orang lain.
Banyak pemimpin yang menjadi pemimpin hanya karena kepercayaan orang lain tetapi yang sebenarnya terjadi yaitu masih ada keraguan dari dalam diri.
Hal ini tentunya akan mempengaruhi proses, situasi dan kondisi kepemimpinannya. Bisa saja kepemimpinannya tidak berjalan secara optimal dan kurang baik bagi misi dari organisasi yang dipimpinnya.
Harold Koontz dan Cyrill O’Donnel menjelaskan ada sifat-sifat yang harus dimiliki pemimpin yaitu memiliki kecerdasan melebihi orang-orang yang dipimpinnya, mempunyai perhatian terhadap kepentingan yang menyeluruh, mantap dalam kelancaran berbicara, mantap berpikir dan emosi, mempunyai dorongan yang kuat dari dalam untuk memimpin, dan memahami kepentingan tentang kerjasama.
Sifat-sifat tersebut erat kaitannya dengan diri pemimpin yang bersumber dari dalam dirinya dengan keinginan yang kuat. Skill dan knowledge sangat diperlukan dalam kepemimpinan dan itu tergantung kemampuan pribadi tiap pemimpin dan motivasinya untuk memiliki kemampuan pengetahuan yang luas sehingga memiliki skill dan knowledge lebih baik dari bawahannya.
Memotivasi diri untuk memiliki perhatian secara menyeluruh dan bukan pada aspek tertentu saja. Kematangan emosi juga tergantung pada kekuatan diri dalam menanggapi persoalan yang ada.
Kepercayaan publik tumbuh dari pelayanan yang berkualitas. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan OECD (2000) bahwa pada dasarnya pelayanan publik adalah kepercayaan publik. Untuk meyakinkan publik atau orang yang dipimpin tentunya membutuhkan rasa kepercayaan diri yang kuat dari dalam diri pemimpin serta kemampuan diri untuk membuat orang lain yakin akan segala pemikiran pemimpin.
Pemimpin perlu memperhatikan bagaimana ciri-ciri pemimpin yang baik. Pertama, pemimpin harus memiliki persepsi sosial sebagai kecakapan dalam melihat dan memahami perasaan, sikap, dan kebutuhan anggota-anggota kelompok.
Kedua, pemimpin harus memiliki kemampuan berpikir abstrak karena dapat menjadikan indikasi bahwa seseorang mempunyai kecerdasan yang tinggi.
Ketiga, pemimpin harus memiliki keseimbangan emosional untuk dapat turut merasakan keinginan dan cita-cita anggota kelompok dalam rangka melaksanakan tugas kepemimpinan dengan sukses.
Ciri-ciri tersebut harus nampak dari dalam diri pemimpin agar dia menjadi seorang pemimpin yang bisa disenangi oleh para anggota yang dipimpinnya.
Hal ini akan berdampak positif bagi keberlangsungan organisasi atau kelompok yang dipimpinnya sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat terwujud.
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan manusia yang lainnya. Dalam hubungannya itu tentunya memiliki berbagai macam persoalan yang mengarahkan manusia pada kehidupan yang kurang harmonis, konflik atau perselisihan, dan bahkan yang lebih anarkis seperti pertikaian.
Keutamaan hidup mengacu pada keselarasan dan keharmonisan. Salah satu pihak yang seharusnya dapat berpartisipasi aktif secara optimal dalam mendidik individu maupun masyarakat untuk lebih menjadi masyarakat yang terbuka, toleran, dan tidak diskriminatif adalah para pemimpin informal.
Dalam konteks pengembangan pendidikan multikultural, pemimpin menjadi tokoh strategis dalam menyampaikan ide-ide pembaharuan kepada masyarakat/kelompoknya, yaitu pembaharuan menuju masyarakat demokratis dan harmonis.
Pemimpin menjadi patokan dan mengarahkan masyarakat atau orang yang dipimpinnya ke arah kehidupan yang demokratis dan harmonis tanpa adanya perselisihan di antara kelompok yang dipimpinnya.
Pada hakekatnya pemimpin dapat menjadi pemersatu bagi segala perbedaan yang ada pada anggota kelompoknya dan bukan memihak pada anggota tertentu sesuai keinginannya.
Pemimpin yang cerdas bukanlah suatu jaminan untuk memimpin suatu organisasi yang efektif dan efisien, karena seorang pemimpin selain memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memimpin juga dituntut berperilaku sebagai panutan bagi bawahannya (building the trust).
Pemimpin harus mengutamakan kepentingan bersama dari organisasi atau kelompoknya. Pemimpin hendaknya bisa merangkul semua bawahannya dengan baik dan berlandaskan keutamaan hidup bawahannya tanpa harus otoriter.
Keutamaan hidup seperti kesejahteraan, demokratis, keharmonisan dan lain-lain menjadi pusat perhatian seorang pemimpin. Seorang pemimpin hendaknya orang yang sudah memperhatikan sifat dan ciri dari suatu proses kepemimpinan.
Menjadi seorang pemimpin memang tidaklah mudah. Seorang pemimpin tidak hanya cerdas tetapi juga harus memiliki kemampuan lain seperti relasi sosial, kemampuan komunikasi, kemampuan manajerial, skill/knowledge, dan kematangan emosional.
Seorang pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mampu mewujudkan harapan setiap orang yang dipimpinnya dan berpijak pada keutamaan hidup sehingga tujuan dari manajerialnya dapat terwujud.
Bagi calon pemimpin hendaknya memperhatikan sifat dan ciri dari suatu kepemimpinan agar dia mampu menjadi seorang pemimpin yang benar-benar bisa memimpin.
Rasa tanggung jawab dan motivasi dari dalam diri
calon pemimpin perlu dibangun atau dibentuk sehingga menjadi sebuah karakter
yang pada akhirnya dia mampu menjadi seorang pemimpin yang efektif.