Ruteng yang Ditinggal Pergi Tuannya
Kota Ruteng (Sumber: pixabay) |
Penulis: Ricardus Jundu, Editor: Florida N. kabut
pikirindu.com- Kisah ini lahir dari kota kecil Ruteng. Tepatnya, kota ini
berada di sebuah pulau kecil Bernama Flores. Banyak cerita yang lahir dari kota tua ini
dengan beberapa gedung peninggalan lama yang tersisa dan berdiri di atasnya.
Tentunya, bukan Gedung tua saja, ada juga satu pohon yang
tua, berdiri tegak, tinggi dan rantingnya melebar jauh sehingga bisa jadi
tempat berteduh bagi anak sekolah yang lagi gerah karena jalan kaki saat pulang
sekolah. Beberapa gedung dan pohon tua yang tersisa itu menjadi bukti sejarah
bahwa kota ini memang sudah tua. Iya, betul sudah tua.
Kota Ruteng di kala itu, anak – anak bermain bola kaki di
lapangan motang rua, tepatnya hari minggu setelah pulang gereja. Ada juga anak-anak
yang asyik bermain sepeda hanya sekedar mengelilingi lapangan motang rua. Selain
itu, ada juga yang berkunjung ke pertokoan untuk berbelanja atau hanya sekedar cuci
mata dengan barang keluaran baru yang bagus.
Pada saat musim layangan, ada kisah seru Ketika ada
layangan anak kompleks sebelah yang putus. “oe ada layangan putus e, kejar” teriak
anak-anak yang melihat ada layangan putus. Di antara yang bermain layangan, ada
juga anak perempuan yang lagi serunya bermain tali merdeka pakai karet yang
terurai panjang.
Pada saat musim wayang, banyak yang membeli wayang baru
dengan gambar – gambar yang bercerita tentang film dan sebagainya. Di lapangan
kecil dalam kompleks terdengar suara kas anak – anak ‘satu-diam, dua-diam”. Saat
itu orang tua pasti bingung tentang apa yang dilakukan anak-anak itu. Kadang,
ada juga momen bermain batu kayu dan yang kalah harus menggendong temannya yang
menang.
Kalau jalan sore-sore (kendaraan belum seramai sekarang),
hanya sekedar berkeliling, pasti di pertigaan jalan atau tempat lainnya banyak
orang berkumpul walau hanya sekedar bersenda gurau membahas banyak hal dari
yang serius sampai ke hal yang konyol.
Warga kotanya paling suka kalua 17 Agustus, berbondong-bondong
ke pusat kota hanya sekedar untuk menonton atraksi yang dipersembahkan dari
berbagai sekolah. Paling lucu kalau nonton anak TK yang tampil di depan para
muspida. Berbagai tawa spontan keluar dari mulut penonton. Setelah pulang
nonton acara 17 Agustus lanjut bermain ke hutan sambil mencari kayu bakar dan
masih sempat juga singgah di kali untuk berenang bersama teman.
Memasuki bulan Desember, setiap anak pasti sudah menyiapkan meriam bambu. permainan tradisional yang familiar dikalangan anak-anak saat itu. Setiap anak laki-laki mulai berjalan di pinggiran kali untuk mencari bambu yang bisa dijadikan meriam bambu untuk dimainkan.
Permainan meriam bambu ini juga butuh kehati-hatian karena bisa menyebabkan kecelakaan ringan sampai parah apabila tidak dimainkan dengan baik. Terlihat anak-anak beramai-ramai memikul meriam bambu dari ukuran kecil sampai besar ke arah yang jauh dari pemukiman. Hal ini dilakukan anak-anak agar saat bermain meriam bambu tidak mengganggu warga sekitar.
Tak jarang juga ada yang bermain meriam bambu dekat pemukiman warga. Ya, tak heran jika ada orang tua yang marah sampai darah tinggi kumat. "Oe anak koe, toe nganceng labar tadang koe apa demeu situ ko, nenteng taung tilu agu kaget taung ami. Bo meu laku tong". Begitulah teriakan ibu-ibu yang selalu kaget ketika meriam bambu berbunyi. Kelihatan agak bandel sih anak-anak itu, mereka nekat bermain di dekat rumah warga.
Anak-anak yang bandel itu pun dikejar oleh orang dewasa. Mereka lari terbirit-birit jauh dari pemukiman warga. Anehnya, saat dikejar, anak-anak itu masih juga sempat memikul meriam bambu sambil berlari.
Ada yang masih ingat cara bermain meriam bambu?
Lalu, anak-anak itu pun bertumbuh dewasa dan pergi meninggalkan kota Ruteng untuk melanjutkan pendidikan atau pun bekerja. Bagian yang tersisa kini, hanyalah kenangan dalam memori ingatan saja. Kenangan itu akan diceritakan lagi saat berjumpa kawan lama atau sekedar reunian bersama teman lama dengan topik cerita tentang masa lalu itu.
Ceritanya pun hanya bisa sebagian saja dari kenangan yang pernah ada tergantung daya ingat setiap orang karena memang tidak pernah dituliskan kisahnya sehingga lambat laun kenangan itu pun hilang ditelan jaman. (Red.pikirindu)