Jelang Natal 2021, Alasan Maria Kunjungi Elisabet Barulah Terkuak
Gambar: depositphotos.com |
Penulis: Ricardus Jundu, Editor: Florida N. Kabut
Imajinasi.pikirindu - Beberapa hari yang lalu, diberikan kesempatan untuk mengunjungi salah satu desa. Perjalanannya cukup menantang karena banyak jalan yang berlubang dan melewati bukit - bukit curam.
Terlepas dari jalanan yang memacu adrenalin, semuanya terobati dengan pemandangan alam yang indah sebagai anugrah dari Tuhan.
Sesampainya di kantor desa, sudah banyak masyarakat berkumpul menantikan kehadiran kami.
Sembari menunggu kami, mereka duduk berkelompok di bawah rindangnya pepohonan untuk menghindari teriknya mentari saat itu. Ada yang berdiri dan ada juga yang duduk.
Entah apa yang mereka bicarakan dalam kelompok-kelompok kecil itu, hanya mereka sendiri yang tahu.
Setelah kami sampai, semua masyarakat beramai-ramai memasuki kantor desa untuk menempati kursi yang sudah disiapkan.
Kami berdiri sejenak di depan kantor desa, lalu disambut secara adat Manggarai yaitu tiba meka menggunakan tuak dan sebungkus rokok.
Kami tersenyum bahagia karena tak disangka akan disambut demikian.
Kata kepala desa kepada kami, acara ini adalah kebudayaan orang Manggarai dalam menyambut tamu. Dalam hati kecil saya, luar biasa warisan leluhur orang Manggarai ini.
Salah seorang dari kami, langsung spontan merespon, kebiasaan ini sangat menyentuh, saya merasa sudah diterima menjadi orang Manggarai, katanya dengan nada halus dan tersenyum bahagia.
Oh iya, setelah acara tiba meka, kami masuk ke dalam ruangan dan diterima dengan tarian tiba meka yang dibawakan oleh pelajar.
Lenggak-lenggok penari membuat kami terpukau dan semakin kagum dengan kebudayaan orang Manggarai.
Seorang teman kami mengatakan "kayaknya masih banyak hal yang kita bisa temukan dari kebudayaan orang Manggarai ini", katanya dengan nada halus dan volume yang tak begitu besar.
Ternyata, kepala desa mendengar apa yang disampaikan salah satu teman kami tadi. Sambung kepala desa, di Manggarai ada yang namanya tarian caci sebagai ciri khas orang Manggarai.
Kami pun penasaran dengan tarian caci dan menanyakan seperti apa tarian caci itu. Sontak kepala desa menunjukkan video yang direkamnya saat caci pada acara wagal anaknya.
Ini waktu acara wagal anak saya, kata kepala desa. Wagal? iya, wagal, tegas kepala desa.
Kami pun semakin penasaran dengan kebudayaan orang Manggarai, tentunya. Wagal, ternyata salah satu acara adat dalam perkawinan orang Manggarai.
Katanya, dengan dilakukan acara adat itu, sang gadis resmi masuk dalam keluarga pria. Acara wagal sekarang ini sudah banyak perubahan dan tidak sama seperti dulu di jamannya, tegas kepala desa.
Sambil bercerita, kami disuguhi kopi dan teman-temannya seperti ubi, pisang, dan jagung rebus.
Kepala desa mengatakan bahwa inilah hasil pertanian kami, mohon maaf jika kami hanya bisa menyuguhkan makanan seperti ini.
Kami senang pak, sebenarnya makanan seperti ini yang kami inginkan karena sudah sering dengan berbagai jenis kue di kota, jawab salah seorang teman.
Setelah hampir 30 menit kami beristirahat sambil bercerita dan menikmati suguhan dari desa. Kami pun memulai kegiatan kami untuk memberdayakan masyarakat desa.
Salah satu yang kami berdayakan adalah hasil pertanian seperti jagung, pisang, dan umbi-umbian.
Salah satu teman kami menjelaskan begini, "kita terkadang aneh. Kita pergi jual pisang ke kota dan kembali ke kampung membawa pisang goreng sebagai buah tangan ketika pulang dari kota untuk dinikmati bersama keluarga di kampung".
Sontak semua masyarakat desa yang hadir tertawa terbahak-bahak.
Hampir tiga jam kami membagikan keterampilan yang kami miliki kepada masyarakat desa. Semoga dengan kegiatan pemberdayaan ini, masyarakat bisa memiliki pengalaman yang baru lagi.
Waktu menunjukkan pukul 13.00 wita, sungguh tak terasa berlalu begitu cepat. Kemudian, kami menyampaikan akan hadir lagi dua minggu lagi untuk melihat perkembangan desa.
Kegiatan pemberdayaan desa pun selesai dan kami diundang untuk makan di rumah kepala desa.
Sesampainya di rumah kepala desa, betapa kagetnya kami melihat dua orang wanita saling berpelukan sambil menangis histeris.
Bukan hanya kami yang kaget melihat peristiwa itu tetapi kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat yang ikut bersama kami.
Tiba-tiba air mata kepala desa juga jatuh membasahi wajahnya yang nampak kelelahan. Kami pun hanya bisa diam dan bertanya dalam hati "ada apa sih?"
Salah satu tokoh masyarakat akhirnya mempersilahkan kami duduk, sekalipun itu bukan rumahnya tetapi karena takut kami berdiri terlalu lama.
Kepala desa hanya bisa menangis dan matanya terus menatap kedua wanita yang menangis sambil berpelukan itu.
Tak lama kemudian, keluar kalimat dari salah seorang wanita yang mengenakan pakaian yang rapih dengan dandanan yang telah pudar akibat air mata yang menetes, katanya, ampong koe aku e kaka, salah aku ta kaka. Ampong kole aku e ase momang daku, salah kole aku, jawab wanita lainnya.
Baca Juga:
Kami dalam diam, hanya bisa merasakan emosi dari kedua wanita yang nampaknya sama-sama lagi hamil.
Beberapa menit kemudian, keduanya saling mencium pipi kiri dan kanan lalu duduk di sebuah tikar sambil tetap berpelukan.
Kepala desa lalu menghapus air matanya dan sembari menyampaikan permintaan maaf kepada kami.
Dia kemudian menjelaskan bahwa kedua wanita itu adalah saudara kandung yang mengalami perselisihan sejak pemilihan kepala desa periode lalu.
Perbedaan itu membuat hubungan keduannya berantakan. Betapa bahagiaanya natal kali ini, kembali mempertemukan dan menyatukan ikatan batin kedua saudara ini.
Saya menangis karena bahagia dan saya sudah melupakan semua masalah saat itu dan menunggu sejak lama kesempatan hari ini, terima kasih Tuhan, kata kepala desa dengan nada halus dengan wajah kembali bersinar.
Beberapa tokoh masyarakat pun memuji apa yang dilakukan kedua saudara itu. Mereka mengatakan bahwa kami baru tahu kenapa sampai mereka ini berpisah dan tak pernah saling mengunjungi satu sama lain lagi.
Ternyata hanya karena masalah perbedaan pilihan dalam pesta pemilihan kepala desa kali lalu.
Kami sebagai tamu hanya diam dan tersenyum serta ikut mensyukuri peristiwa itu. Salah satu teman kami, mengatakan, ternyata seribet ini kehidupan di desa, bukan hanya masalah tentang jalanan yang sulit dilalui atau masalah hasil pertanian yang sulit dipasarkan tetapi masalah sosial-politik juga terasa sekali di desa.
Itulah sekilas cerita yang kami temukan untuk dibawah pulang. (Red.pikiRindu)