Budak Paruh Waktu Di Tanah Pilihan
Cerita gila pertama yang ditulis sebagai imajinasi dalam refleksi penulis.
Regulasi dan regulasi lagi, teriakmu. Jangan sok tahu kamu dengan regulasi. Kamu tak paham sedikit pun. Kewajiban kamu hanyalah bekerja sesuai keinginanku. Paham?
Regulasi itu punyaku dan untuk kepentinganku. Bagaimana kamu bisa paham, toh kamu bukan pembuatnya, apalagi kalau ditambah otakmu yang lemah lunglai. Aduh, sulitlah kamu pahami isi dari regulasi yang panjang lebar itu.
Sekalipun kamu merengek, tak bisa memberontak, kamu hanyalah rakyat jelata yang meratap dalam puisi. Teriakmu hanya membuat kamu tambah frustrasi. Ingat, akulah yang memutuskan, bukan suara teriak ramaimu.
Kalian hanyalah sekumpulan budak yang aku gunakan untuk kepentinganku dan sekaligus kroni-kroniku. Mau sampai kapanpun kamu tetaplah budak.
Jika aku tak membutuhkanmu lagi, tentunya kubuang sampai kamu tak bisa menjerit lagi.
Sebenarnya, aku ingin sekali mempertahankanmu menjadi budak-budakku tapi karena demi menjaga kepentinganku terpaksa kalian kutendang.
Kehidupanmu, bukan urusanku. Urusanku adalah perut dan semua keinginan kroni - kroniku. Mungkin, itu akan berlangsung paling lama sampai aku tinggal di liang kubur yang sempit itu.
Janganlah kamu merengek seperti kambing kelaparan saja. Apalagi kalian lakukan itu di jalanan yang tak punya naungan untuk terhindar dari teriknya panas matahari. Aku tahu itu dari balik jendela megah di ruangan kerjaku.
Sepintas aku melihat sambil tersenyum dan bergumam dalam hati "makanya ikut aturan main". Resikonya tanggung sendiri karena itu bukan urusanku.
Bagiku, keberadaanmu saat ini tak menguntungkan aku dan kawan-kawanku. Kawan yang entah setia atau tidak kepadaku. Intinya, sekarang kawan-kawan itu masih terlihat lengket di depanku.
Oh iya, kata kawanku, ada di antara kalian yang menjadi budak kurang lebih mendekati 10 tahun. Aku hanya mau bilang, sedih sekali nasibmu.
Kalau boleh jujur, ingin sekali kupertahankan kalian menjadi budak di tanah pilihanku tetapi aku didesak oleh kepentinganku agar melepaskan kalian. Kalian hanya menjadi beban di tanah ini.
Pekerjaanmu selama ini hanya sebagai pengorbanan dari budak kepada tuannya. Dari jaman dulu juga begitu sehingga sebaiknya kalian terima saja.
Teriakmu tentang hak dan jaminan kepadaku tak ada gunanya. Hatiku sudah terikat janji dengan kepentinganku. Teriakmu soal karma dan kutukan pedas, kamu bukan Tuhan yang bisa menghakimiku sesukamu.
Saat ini, akulah yang berkuasa atas tanah ini. Jadi, aku bebas melakukan apa pun atas tanah pilihan ini. Memang benar bahwa ada kawan lamaku yang kini harus tinggal di balik sempitnya jeruji besi di masa tua karena seenaknya mengatur tanah ini.
Itu kan kawan lamaku dan bukan aku. Salahnya sendiri karena tidak bisa merencanakan dengan baik dan mensiasati banyak strategi agar tak ketahuan kalau telah mencuri harta dari tanah pilihan ini.
Kalau aku sendiri banyak belajar dari kesalahan kawan lamaku itu agar tak terulang dan terjadi kepadaku.
Budak, cukuplah kau berteriak lagi di jalanan depan kantor kerjaku. Kau hanya membuang waktu, carilah pekerjaan baru. Syukur kalau mendapatkan pekerjaan yang lebih layak bagimu.
Burung di udara saja bisa hidup. Apalagi kalian yang punya kaki dan tangan. Yah, sekalipun menjadi budak lagi. Saranku, sebaiknya kau gunakan juga otakmu maka kaki dan tanganmu tidak menyeretmu menjadi budak yang sama lagi.
Sembari menikmati secangkir kopi di ruang kerjaku, sempat mendengar kalian meneriaki namaku. Aku sudah terbiasa dengan candaan seperti itu. Aku hanya kasian saja apabila kalian kecapean nanti, lalu pulang tanpa membawa hasil untuk sekedar membeli beras dan teman-temannya.
Keputusan yang kuambil tidak bisa diganggu gugat lagi. Setop teriak di jalanan dan sebaiknya move on, lalu berpikir untuk mencari peluang baru yang lebih menjanjikan.
Begini saja yah, kalian kusiapkan balai pelatihan kerja untuk menambah keterampilan kalian. Prinsipnya, aku memberi jala ke kalian dan pergilah menangkap ikan. Aku tidak akan memberi ikan secara langsung karena takut cepat habis begitu saja, lalu kalian merengek lagi.
Bagaimana, mau saya bagikan jala itu? Jala itu akan membantu kalian mendapatkan ikan lagi apabila sudah habis terpakai.
Soal regulasi dan kebijakan yang aku putuskan, kalian terima saja, jangan ribut berlebihan. Aku juga butuh jala untuk menghidupi kroni-kroniku yang juga lebih banyak merengek kepadaku lebih dari yang kalian lakukan ini.
Sekian tahun berlalu pergi, semua cerita itu, kini menjadi kenangan masa laluku. Semuanya menjadi beban yang selalu mengusik bahagiaku. Dulu, ada yang terluka karena keputusanku. Semoga semua yang terluka itu, kini berbahagia menjalani hidup.
Aku hanya bisa merenung dan meratapi hidup hanya dari kursi roda ini. Aku tak berdaya lagi. Rambutku beruban dan terus menua. Ingin aku kembali ke masa lalu dan memulai dari awal lagi. Semuanya hanya bisa kuungkap dalam hati tanpa henti.
Aku hanyalah sampah masa lalu bagi orang-orang yang tersakiti. Dari sini, di ruang sempit ini, semuanya berakhir, lalu menjadi kenangan.
Ricard Jundu
Penulis adalah penyuka seni dan sastra yang sudah menulis di berbagai media cetak dan online.
Sumber ilustrasi: pixabay.com