Keadilan Dan Tinjauan Realistis Tentang Kematian Brigadir Yosua
Foto: Paulus O. P. Hansen dengan latar belakang Ferdy Sambo dan Brigadir Yosua |
Tinjauan Realistis Tentang Kematian Brigadir Yosua
Paulus Ola Putra Hansen
*Siswa Seminari Scalabrinian Ruteng
Belum lama ini, Indonesia digemparkan oleh tragedi tembak menembak yang menewaskan seorang ajudan pribadi dari seorang petinggi Polri.
Mirisnya, tragedi ini juga terjadi di rumah jabatan sang Jendral. Sebut saja, mantan Kadiv Propam Irjen Ferdi Sambo yang dicap sebagai biang kerok atas meninggalnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau yang kerap disapa Brigadir J.
Dikutip dari majalah Tempo, kasus yang memicu perhatian publik ini menghadirkan beberapa nama yang ditetapkan sebagai tersangka, seperti Inspektur Jendral Ferdi Sambo yang dinilai sebagai otak pembunuhan terhadap Brigadir J.
Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihan Lumiu yang menjadi eksekutor.
Brigadir Kepala Ricky Rizal sebagai orang yang mengetahui sekaligus membantu penembakan korban.
Kuwat Maruf sebagai sopir pribadi Putri Candrawathi sekaligus saksi langsung proses pembunuhan.
Putri Candrawathi yang dinilai telah mengajukan berita bohong.
Berdasarkan isu yang beredar baik di masyarakat maupun di media, sepak terjang kematian Brigadir J dipicu oleh oleh kasus yang tidak enak didengar.
Menko Polhukam, Mahfud MD mengatakan bahwa motif pembunuhan tersebut “ Hanya boleh didengar oleh orang dewasa” atau secara gamblang dipicu oleh kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J terhadap Putri Candrawathi atau istri dari Ferdi Sambo.
Tidak berhenti di situ, isu lain mengatakan bahwa motif pembunuhan tersebut disebabkan oleh sang jendral yang sedang di ujung tanduk, karena Brigadir J mengetahui rahasianya.
Berdasarkan olah TKP, ditemukan bukti yang sesuai dengan laporan sang jendral di Mabes Polri, bahwa ada indikasi tembak menembak antara ajudan yaitu sang almahrum dengan Bahrada Eliezer.
Dalam laporan tersebut bahwa Ferdi Sambo tidak terlibat. Aksi Bahrada E pun dianulir sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan yang merasa dipojokkan.
Hal ini, belum tentu benar karena ada kejanggalan dalam olah TKP, seperti: CCTV yang rusak, pakayan yang digunakan almahrum tidak ditemukan, handphone juga tidak ditemukan, ada luka yang dianggap bukan merupakan hasil tembak dan bahkan adanya transaksi uang dari rekening Brigadir J pasca almahrum sudah berada di liang kubur.
Kejanggalan-kejanggalan ini, memicu beragam tanggapan dari masyarakat terutama keluarga korban.
Selanjutnya pihak keluarga korban yang diwakili kuasa hukum Kamaruddin Simanjutak meminta untuk melakukan autopsi ulang demi mendapatkan informasi yang valid.
Bahkan presiden Indonesia, Ir. H. Jokowidodo dalam sebuah kesempatan mengatakan kepada semua pihak yang bertugas dalam pengungkapan kasus untuk mengusut tuntas tanpa ada yang disembunyikan.
Dilansir dari Pos Kupang, permintaan untuk mengadakan autopsi ulang akhirnya diindahkan dengan menghadirkan tim Dokter Forensik Gabungan yang berhasil mengungkap fakta baru, yaitu ada lima luka tembak dengan perincian empat butir peluru tembus dan satu lainnya bersarang di tulang belakang.
Fakta lain yaitu ditemukan luka-luka selain luka tembak.
Setelah autopsi ulang muncul rumor baru, bahwa isu awal yang dikaitkan dengan pelecehan seksual berganti haluan. Artinya, isu itu penuh dengan kebohongan.
Lantas! Masih adakah skenario yang pantas dipentaskan atau skenario asli akan dipajang di depan publik?
Pengalihan isu tersebut mengundang tanya di kalangan masyarakat Indonesia. Masih adakah keadilan untuk kaum tertindas?
Baca Juga: Eksistensi BBM Sebagai Pemicu Masalah dalam Masyarakat
Catatan Singkat bagi Institusi Polri
Sebagai pengayom masyarakat Institusi Kepolisian adalah pelayan yang pro masyarakat.
Bahkan, ketika ada masalah yang terjadi, aparat senantiasa bergerak cepat, mengusut tuntas sampai ke akar-akarnya. Namun, tragedi kali ini cukup mengherankan.
Pasca kejadian polisi tidak langsung membatasi TKP dengan tali khas kekuningan. Namun, olah TKP baru dilakukan setelah tiga hari pasca kejadian.
Ini memicu beragam persepsi dari penulis termasuk publik, apakah kesempatan tiga hari adalah waktu yang cukup lama untuk menghilangkan segala barang bukti demi menghapus jejak pembunuhan?
Baca Juga: Cerdas Menganalisis Informasi di Media Sosial
Berapakah harga keadilan sehingga tragedi ini belum mencapai kata selesai?
Persepsi tersebut ternyata benar bahwa CCTV di rumah seorang Jendral mengalami kerusakan seminggu pra kejadian. Sampai saat ini pun belum ada titik akhir dari kasus tersebut.
Sebagai sebuah Institusi kenegaraan, kepolisian seharusnya jujur dan terbuka supaya masyarakat menilai kinerja kepolisian benar-benar dijalankan atas dasar tanggung jawab.
Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, yang dilansir dari pos Kupang, melakukan wawancara bersama mantan Kabareskrim Susno Duadji tentang peran Ferdi Sambo dalam institusi kepolisian.
Susno mengatakan bahwa tersangka mempunyai power yang kuat dalam Institut Kepolisian, dimana dia berperan sebagai penentu baik buruknya seorang aparat untuk dipromosikan ke level selanjutnya dan juga memiliki kedekatan dengan Kapolri.
Relasi tersebut bisa saja mengundang polemik baru karena publik menilai ada hal sengaja ditutup-tutupi oleh pihak Kepolisian.
Oleh karena itu, institusi kepolisian harus segera menuntaskan masalah ini agar publik benar-benar menaruh kepercayaan bahwa kepolisian adalah lembaga yang menegakkan keadilan dengan seadil-adilnya.
Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan yang absolut. Artinya kepolisian melihatnya dari fakta bukan soal hubungan keluarga, kerja apalagi soal hubungan GELAP.
Dengan kinerja kerja seperti ini, penulis yakin, bahwa institusi kepolisian yang telah tercoreng nama baiknya karena kasus ini bisa mengembalikan citra dan nama baiknya bahwa keadilan datang dari realitas yang tidak bisa diperjualbelikan oleh uang, jabatan dan lain sebagainya.
Penulis adalah siswa di Seminari Scalabrinian Ruteng.
Isi dalam tulisan menjadi tanggung jawab penulis.
Editor: Elvis Hadun
@Red.pikiRindu