Bunda Maria: Teladan Mengikuti Yesus
Gambar Patung Bunda Maria Menggendong Yesus (Sumber: pixabay) |
Penulis: Paulus Ola Putra Hansen || Editor: Selavianus Hadun
PIKIRINDU.com- Dalam kehidupan harian, setiap orang pasti memiliki tokoh idola. Orang tersebut dianggap sebagai teladan hidup. Hal ini pun secara langsung ataupun tidak langsung membuat seseorang langsung mengimitasi cara hidupnya, mulai dari cara berpakaian, cara berbicara sampai cara bersosialisasi.
Namun, realitas yang mustahil dipungkiri bahwasannya manusia adalah makhluk lemah. Kesalahan menjadi bagian yang integral dalam kehidupannya. Dengan kata lain, telah mengakar dalam pribadi seseorang.
Kendatipun demikian, tidak selamanya tokoh tersebut dijadikan fundasi pijakan. Terkadang karena sesuatu hal bisa berbalik dari cara hidupnya. Cara hidup tersebut yang terkadang membuat kita kecewa dan memilih untuk lari daripadanya.
Sebagai umat beriman dalam pangkuan Gereja Katolik Roma, tokoh sentral yang patut diidolakan adalah Bunda Maria. Maria menjadi tokoh yang sangat berbeda dari semua orang di dunia ini. Ia merupakan tokoh iman yang tidak pernah mengecewakan. Ia menjadi hamba dengan membiarkan kehendak Tuhan bekerja atas dirinya sebagai tanda pemenuhan janji Allah dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus.
Hal ini diperkuat melalui jawabannya kepada Malaikat Gabriel “ Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (bdk Luk.1:38). Hal tersebut adalah pengungkapan iman yang mendalam sekaligus totalitas Maria dalam menyelami misteri Allah (Stefan Leks: 2003).
Maria juga menunjukkan sikap kerendahan hati bahwa walaupun dipilih di antara segala wanita, Dia tetap sadar bahwa Dia hanyalah mediator keselamatan umat manusia yang dipenuhi dosa. Maria tidak memposisikan diri setara dengan Allah meskipun rahimnya menjadi bait Allah yang menjelma menjadi manusia.
Sebagai umat beriman, ada beberapa poin penting yang mesti diadopsi dari kehidupan Bunda Maria sebagai fundasi iman dalam mengikuti Kristus.
Pertama, Teguh dalam pengharapan. Situasi paling menegangkan bagi seorang ibu adalah saat-saat melahirkan. Di satu pihak, ada sukacita karena kedatangan bayi dan di pihak lain, terimplisit duka cita dikala nyawa, baik salah satunya maupun kedua-duanya menjadi taruhan. Hal ini pun terlintas dalam benak Maria sebagai manusia biasa.
Dia merasa tidak berdaya. Namun, terhadap janji Allah Dia tidak gentar sedikitpun. Dia tetap teguh dalam pengharapan bahwa Tuhan pasti bertanggung jawab atas dirinya. Dia yakin setiap problematika kehidupan mempunyai solusi selagi menaruh harapan pada rencana Allah.
Kedua, Kerendahan hati. Peristiwa-peristiwa mengenai kelahiran Yesus menjadi rentetan kisah hidup penuh tantangan bagi Bunda Maria (Luk. 2:1-7). Di masa kehamilannya, Dia harus mengadakan perjalanan jauh dari “Kota Nazareth di Galilea ke Yudea-Kota Daud yang bernama Betlehem” untuk memenuhi perintah Gaius Claudius atau yang lebih dikenal dengan nama Kaisar Agustus terkait pencacahan jiwa di seluruh wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi.
Bagi kebanyakan ibu kondisi yang dialami Bunda Maria tentu sulit untuk dijalankan. Tidak jarang kondisi ini pula menjadikan manusia untuk cepat menyerah pada realitas. Kita mesti mempelajari sosok Maria. Dia senantiasa tunduk pada regulasi penguasa meskipun secara terang benderang diketahui tentang Mesias di dalam rahim kudusnya. Dia tidak menyombongkan diri saat Raja di atas segala raja bersemayam dalam dirinya. Sebaliknya, Bunda Maria malah menunjukkan sikap rendah hati dengan taat pada aturan-aturan penguasa saat itu.
Ketiga, Sabar. Menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan bersama Yosef, akhirnya tiba saatnya bagi Bunda Maria untuk melahirkan (Luk. 2:6). Mirisnya, mereka tidak mendapat tempat penginapan dalam menyambut sang Emanuel. Sikap Maria adalah sabar berada di antara ternak-ternak, sebab Yesus dilahirkan di kandang.
Dia tabah menjalaninya walaupun harus melahirkan Kristus dalam palungan yang ada di kandang. Dia tetap tegar saat bayi Yesus direbahkan di palungan. Secara manusiawi, Raja tidak bisa dilahirkan dalam kandang yang hina. Sebagai manusia biasa, Bunda Mari pasti tidak menginginkan kelahiran Yesus di kandang yang hina.
BACA JUGA:
* Kikisnya Kesadaran Lingkungan
* Masa Adven Membawa Perubahan dalam Menghadapi Cobaan Hidup
Bagaimana mungkin, Raja dilahirkan dalam kehinaan? Jawabannya terimplisit dalam kesabaran Maria bahwa Allah menjanjikan kebahagiaan di dalam penderitaan. Allah pun menjanjikan sukacita di tengah tangisan. Dia menyadari bahwa Allah yang merendahkan diri dalam Putra-Nya Yesus Kristus akan ditinggikan sebagai “King of kings.”
Sebagai umat beriman, ketiga poin di atas merupakan hal yang patut dipetik dari keteladanan Bunda Maria sebagai pedoman iman dalam mengikuti Yesus. Seperti kita memetik buah lalu menyantapnya, kita pun diharapkan untuk mewujudnyatakan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sosial dan menggereja. Santu Paulus mengatakan “ Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati.” Kita dituntut untuk mampu merealisasikan iman dalam tindakan hidup sehari-hari supaya layak menjadi anak Allah. (Red.pikirindu)
Penulis merupakan seminaris di Scalabrinian Ruteng