Cerpen: Negeriku Indah || Karya Harmino Anfra
Ilustrasi (Sumber: pixabay) |
“Seandainya senja itu bisa kembali, saya percaya semuanya akan baik-baik saja. Nampaknya semuanya sudah jelas, dia pergi. Pergi tanpa pamit serta tak lama dalam dekapan dunia yang penuh teka-tekinya”
PIKIRINDU.com- Senja aku merindukanmu, sahut seorang pria yang bersandar di pojok pintu itu. Kemudian saya menoleh kearah pria tersebut, lalu saya mengatakan kepadanya, lantas mengapa kamu merindukan senja?
Ia pun menjawab sedikit canggung, sebab senja adalah indah. Indah dipandang, indah dilihat serta senja ialah sebuah kehidupan yang patut ditiru.
Saya pun makin penasaran atas jawabannya, selanjutnya, saya bertanya lagi, mana mungkin senja adalah sebuah kehidupan, coba jelaskan, apa yang engkau ketahui tentang hal tersebut?
Dia pun menjawab, sebab sebenarnya senja itu sama halnya seperti hidup yang perlu dilihat yakni, baik-buruknya hari ini tetap saja akan berlalu, so tidak ada alasan untuk menolak keadaan. Kita adalah manusia yang jauh dari kata sempurna, sepatutnya kita harus berdoa, ujarnya. Lebih lanjut, dia juga menekankan bahwa senja ialah Tuhan.
Saking kurang tahunya tentang itu, saya semakin penasaran, atas jawabannya, sebab jawaban sungguh luar biasa, saya pun bertanya lagi, darimana kau tahu tentang itu? Dia pun menjawab; dari hidupku tentang diriku,mengapa aku hidup, tak lainnya adalah karena roh Tuhan bekerja atas diriku.
Dari jawabanya tersebut, saya pun langsung diam, dan merenungi atas jawabannya,namun sama saja penjelasannya sungguh tak masuk di akal. Ah. Lupakan saja.
***
Sejenak saya termenung, mengapa Tuhan selalu memberikan penderitaan yang tiada habisnya. Kadang saya berpikir, Tuhan tidak adil. Saya mengatakan demikian, sebab banyak realitas kehidupan yang saya saksikan dalam dunia ini.
Orang berdosa dikabulkan dari dosanya, orang sombong dimanjakan. Lantas mengapa Tuhan? Sedangkan orang yang sering berdoa lima kali sehari,seringkali tak pernah engkau mempedulikan-nya, dimana keadilan –MU. Dimana Tuhan! katanya engkau baik.
Sambil geleng-geleng kepala atas ketidakadilan ini, senyum membara dari dalam jiwa namun tidak memiliki makna. Hati dan pikiran meronta-ronta ketidakpercayaan sembari tubuhku kemerahan. kamar ku telah menjadi tempat curhat. Curhat tentang kebencian-ku terhadap Tuhan. Kebencian-ku meliputi seluruh tubuhku. Agaknya, aku telah kehilangan harapan hidup.
Setelah beberapa waktu dari kekecewaan itu saya pun ketiduran. Tiba-tiba saya bermimpi, mimpi itu indah, saya melihat semesta. Semestanya menghangatkan hati dan pikiran-ku. Dengan kegembiraan-ku yang tiada ampunnya, saya pun teriak sepuasnya.
Setelah beberapa waktu dari keadaan itu, saya mendengar bisikan,tepatnya dari belakangku sembari menegur katanya; anak bagaimana keadaanmu? Apakah engkau baik-baik saja? Saya pun menjawab: puji Tuhan, saya baik-baik saja. Seketika itu saya bertanya kepadanya: siapakah engkau? Dia pun menjawab: akulah dia yang sering kau hina, kau maki, kau aniaya.
Seketika itu, saya kebingungan atas jawabannya. Saya pun bertanya lagi kepadanya: siapakah sebenarnya dirimu? Ia menjawab :saya adalah pencipta langit dan bumi beserta isinya. Saya pun tambah bingung atas jawabannya. Akhirnya, saya bertanya untuk ketiga kalinya, siapakah engkau sesungguhnya? Dia pun menjawab : akulah dia .
Dia yang senantiasa mendengarkan makian dan cemohanmu pada saat engkau mengalami sesat pikir di kamar itu, kamu juga akan tahu siapa aku. kemudian Dia juga memberitahukanku: “anak ketika engkau pulang nanti, tataplah foto yang ada dinding kamarmu, kamu akan tahu siapakah aku.”
Setelah sekian lamanya, saya pun bangun dari ketiduran itu, tanpa sengaja saya memandang foto Yesus yang kian lama terpajang didinding kamarku itu, akhirnya saya sadar dan tahu, siapa sebenarnya dia. Dia yang ada di mimpi itu, ialah Tuhan yesus. Aku menangis aku menyesal, atas sikapku yang telah membenci Tuhan.
Tuhan maafkan aku, aku telah berdosa, aku telah menyampingkan-MU. Hukumlah aku seturut aturanmu, ampunilah dosaku. Sembari berlutut dihadapan foto YESUS.
***
“Tak juga semangat, tak juga capeh hanya saja mimpi kemarin itu kerapkali datang dalam benakku”.
Apakah aku telah banyak dosa? Ataukah Tuhan telah benci dengan sikap ini yang begitu banyak tinta-tinta hitamnya hingga yang berlarut dalam kehidupan serba mewah, serba nafsu duniawi?
Letih lesu berbeban berat hidupku. Aku tak pantas hidup, TUHAN panggil saja aku kembali ke semestamu. Biar aku tahu bagaimana sengsaranya hidup dalam bara api yang tak pernah habis-habisnya. Aku menyesal Tuhan, aku sungguh menyesal.
Ada apa yang terjadi dengamu anakmuda?” Seketika kaget perlahan ku menoleh kearah sumber suara itu. Nyatanya, seorang bapa yang berperawakan tua. “Siapakah engkau Bapa?” Tanyaku padanya. ia hanya tersenyum. “Bolehkah aku menemanimu?” Tawaran yang baik tapi sedikit takut,lantas sudah sepuluh tahun aku berada negeri ini, baru kali ini ada yang baik padaku. Namun suara hatiku menyakinkan itu. Aku hanya mengagguk kepaladan mengiakan tawarannya.
“Aku telah mendengar keluh-kesahmu barusan, nak”. Baiknya, kau menceritakan kepadaku tentang isi hatimu yang begitu tersekat oleh penderitaan duniawi. Bapa tua tersebut seolah-olah mengajakku untuk kembali merenungi kehidupanku yang amat tersiksa di tempat ini.
Entah apa? Roh kudus bekerja atasku. Aku pun mengiakan ajakannya.
“Bapa? aku telah sepuluh tahun berada ditempat ini, kerjaku sebagai kuli bangunan. Aku megakuinya Bapa, bahwa gajinya besar dan bisa memenuhi kebutuhanku setiap hari. Tetapi seiring berjalannya waktu, aku terjatuh dalam jurang kegelapan hidup duniawi.
Narkotika telah ku kunikmati, seks bebas telahku rasakan. Apalagi sopi. Sebagai Obat penenang sebelum aku tidur malam. Aku tak tahu lagi Bapa bagaimana hidupku kedepannya. Utangku telah menyelimuti seluruh jiwaku. Setiap hari orang datang menuntut utangnya. Aku hanya tunggu ajal di tempat ini”.
Tangisanku tak bisa di bendung lagi.
Bapa tua itu, memelukku seraya berkata. “Tenangkan hatimu, Tuhan akan membantumu, kamu akan baik-baik saja”. Nak? Pandanglah kapal itu. Kapal itu akan mengantarmu kembali ketempat asal yang penuh cinta dan kedamaian”.
Tidak mungkin Bapa, itu tidak mungkin. Utangku numpuk apalagi Negeri ini, sedang memburu kami para migran, yang tak punya kelengkapan berkas yang lengkap. Aku sudah kejebak bapa, sambil meronta-ronta bajuku. Seakan-akan aku tak lagi menarima kenyataan ini.
“Tuhan yang akan membawamu kesana. Tenangkanlah hatimu. Bahagialah bersamaku.mari ikutilah aku”. Ia merayuku sambil mengelus pundakku.
Mari! Ikuti jejakku. Ajaknya.
Aku hanya mengikuti langkahnya dari belakang. sampai disamping perkotaan itu. Ia mengajakku masuk rumahnya. Lalu ia memberikan beberapa bungkusan Roti kepadaku, “makanlah nak, sudahku tahu, bahwa hari ini engkau belum makan. gumamnya. Aku tak panjang kata. Kuambil dan Kunikmati semua roti yang ada di piring itu . Sambari mengucapkan terima kasih padanya.
“Tidurlah disini bersamaku sebelum aku mengantarmu pulang ke negerimu.lanjutnya.
Ku pandang wajahnya sentakku tanya, “siapakah dirimu sebenarnya, Bapa? Dan mengapa engkau begitu baik denganku?”
Kemudian ia menjawab, akulah dia, Bapa para migran, bapa para pengungsi dan bapa para pelaut. Lanjutnya, Tuhan pernah berkata, KETIKA AKU SEORANG ASING KAMU HARUS MEMBERI AKU TUMPANGAN.
Jawabannya sungguh mengagetkanku. tak kuasa lagi air mataku bercucuran deras.” Maafkan aku Bapa. Aku tak tahu inilah engkau sesungguhnya. Aku hanya tahu namamu, dari semua orang-orang migran yang pernah engkau tolong. Maafkan aku, mungkin sikapku dari tadi , tak mengandung unsur etika kesopanan sembari berlutut padanya”.
“Bangunlah, Tuhan telah menyelamatkanmu.sebab dengan kerendahan hatimu” Ia menjawab dengan penuh cinta dan kebaikan
Telah sebulan aku bersamanya, telah banyak yang saya dapat darinya. Bahkan banyak berkat yang kudapat darinya. Hingga Suatu hari di depan teras rumahnya, aku dan dirinya bercerita sambil bersandar dikursi kayu, seketika pertanyaanku muncul untuk bertanya, “Bapa aku mau bertanya denganmu”. Oh silahkan nak. Responnya.
Begini Bapa, sebulan yang lalu, aku sedang bersandar kelelahan di pondok kerjaku. Seorang teman mengatakan padaku bahwa senja ialah Tuhan. Tetapi aku menentang dengan argumennya itu.
Kemudian, dalam mimpi aku bertemu TUHAN di alamnya, ia menyampaikan beberapa kalimat yang mengatakan”AKULAH DIA YANG SERING KAMU ANIAYA, KAMU MAKI". Serta ia memberi pesan agar aku harus betobat”. Bagaimana menurutmu Bapa, tentang itu?
Heem, sembari menarik napas berkali-kali. ”Sepatutnya Tuhan telah mengintaimu sejak awal. Dari kamu lahir hingga kamu segede ini. Tuhan telah melepaskanmu pada waktu engkau berlarut dalam kehidupan duniawi. Namun ia tak meninggalkanmu. TUHAN itu baik. TUHAN itu maha agung ia selalu lembut dan membantu kita untuk kembali sadar dan memilih jalan pulang tak lain untuk kita bertobat."
Satu sisi,untuk jawaban dari temanmu itu tak salah sebab semua keindahan yang berada di dunia ini adalah pemberiannya. Sisi lainnya ialah Senja akan menghilang ketika malam menjemput. Artinya Jika engkau ragu akan keberadaan TUHAN maka kuasa Roh mengintaimu. Jadi, nak akui itu, bahwa TUHAN akan selalu melihat dan mendengar keluh kesahmu.
Terima kasih banyak Bapa untuk penyembuhannya, sembari air mataku membasahi mukaku yang kusam ini.
***
Saatnya tiba, aku akan pulang kembali ke negeri asalku. Bayanganku telah disana. Wajah bapa,mama, adik-kakak sanak saudara telah mengalir kuat di pikiranku. Pikiran terus-terusan ingat, “bagaimana yah keadaan kampungku?” pokoknya banyak pertanyaan yang aku geluti dalam hati.
“Nak, apakah engkau telah siap untuk pulang?” tegurnya kepadaku. “Ia Bapa, aku telah siap”. Jawabku singkat. Aku pun berterima kasih padanya dan mengucapkan permohonan maaf kepadanya apabila sikap selama sebulan ini tidak begitu menyenangkan di baginya.
“Ia hanya tersenyum dan memberikan sedikit uang kepadaku. Pulanglah dengan damai bersama Tuhan dokumenmu telah ku urus semua. sampaikan salamku pada keluargamu”. Satu pesanku padamu,” bawalah TUHAN kemana pun engkau pergi. Dan jadilah gembala yang membawa kedamaian di negerimu”.
Tak tanggung-tanggung, kupeluknya erat-erat tubuhnya sambil mengucapkan terima kasih kepada Bapa SCALABRINI. Terima kasih banyak untuk semuanya. Ujarku. “Nanti ku jalani Bapa”. Lanjutku.
Lima menit telahku rasakan kebahagiaan bersamanya di pelabuhan itu. ku bergegas menaiki tangga kapal serta melambaikan tangan perpisahan kepadanya. “Sampai ketemu Bapa”. Teriakku dari kejauhan. Perlahan kapal yang aku tumpangi membawaku kelautan lepas. Pelabuhan Malaysia tak lagi ku lihat.
Telah kulihat kehidupan
Telah kurasakan bebannya
Hanya dia
Cuman dia
Yang memberi cinta
Tanpa bayaran
Ialah Tuhan
Thanks GOD
***
Penulis merupakan seminaris Scalabrinian Ruteng