Pemimpin Destruktif Pembawa Bencana Terhadap Masyarakat
Foto Guido A. Eko (Sumber: dok.pribadi) |
Penulis: Guido Andreas Eko || Editor: Yati Kabut
PIKIRINDU.com- Pada masa mutakhir ini, minat korupsi di pelbagai lembaga pemerintahan umumnya, dan khususnya di pemerintahan daerah atau lebih spesifik lagi di kalangan pemerintahan desa sangat signifikan. Kepala desa telah menjadi aktor utama tindakan tak terpuji tersebut.
Bertolak dari tindakan kejahatan ini, penulis mengafirmasi bahwa korupsi di kalangan pemerintah desa disebabkan oleh ketidakpuasan kepala desa dalam menggantongi gaji yang telah ditetapkan oleh negara dan ketidakefektifan dalam menggelolah dana desa. Pemimpin dengan tipologi seperti ini seringkali dijumpai dalam realitas kehidupan sosial, bahkan telah beredar di berbagai media-media baik media elektronik maupun media cetak.
Dilansir dari Kompas.com (07/09/2022) bahwa di Toraja Utara, Sulawesi selatan, ditemukan seorang mantan kepala desa menjadi tersangka kasus korupsi dana desa sebesar Rp 920 juta. Menilik lebih dalam mengenai tindakan tak terpuji dari ciri pemimpin koruptor tersebut tentu saja sangat merugikan negara secara umum dan desa setempat yang ingin dibangun.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai pemerintahan demokrasi (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat) seharusnya menjadi perhatian dasar para penegak hukum bertindak. Hal ini agar nilai demokrasi tak tercoreng oleh tindakan-tindakan egoisme destruktif dari setiap pemimpin daerah.
Munculnya tindakan kejahatan tersebut karena kurangnya relasi yang baik atau adanya pembatasan yang dibuat oleh pemimpin dengan masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Hal demikian sama seperti seorang ayah yang tidak memperhatikan keperluan anaknya, karena minimnya relasi yang baik antara seorang anak dan ayahnya.
Artinya, minimnya pendekatan positif antara pemimpin dan yang dipimpin (masyarakat) akan menimbulkan sikap ambiguitas dalam diri pemimpin untuk memenuhi dahaga masyarakat di pelbagai aspek kehidupan. Akibatnya, kebinggungan tersebut cenderung membawa pemimpin kedalam jurang ketamakan, yakni korupsi.
Korupsi merupakan tindakan tidak bertanggung jawab dari seorang pemimpin yang adil dan konstruktif. Tindakan ini tampak dan telah menjadi hal lumrah bagi para pemimpin dewasa ini.
Contohnya, ketika dilontarkan kepada mereka dua pilihan, misalnya seperti: Pertama, mengunjungi masyarakat guna melihat keadaan dan situasi mereka tanpa mengharapkan sesuatu.
Kedua, mengunjungi masyarakat guna memenuhi tuntutan dari pemerintahan atau adanya ambisi finansial belaka. Dualisme pilihan ini, bukan pilihan dilematis dan ambigu lagi bagi pemimpin “sekarang”, tapi mereka lebih cenderung pada pilihan kedua.
Pilihan kedua menjadi pilihan utama mereka, karena pada pilihan tersebut terdapat keuntungan personal, seperti mendapatkan uang jalan dan evaluasi positif dari atasan. Dari evaluasi positif itu, mereka akan mendapat keuntungan yang berlipat ganda (double). Mereka menganggap pilihan pertama sebagai pilihan ‘haram’. Artinya, pemimpin egoisme destruktif merasa waktunya terbuang-buang, hampa dan tak menghasilkan apapun, ketika waktu mereka digunakan untuk mengunjungi masyarakat di luar jam kantor.
Selain itu, seringkali dijumpai pemerintah desa lebih senang mengedepankan keperluan pribadi dan mengesampingkan kebutuhan masyarakat secara komunal. Hal ini secara gamblang tampak ketika mereka berkunjung ke masyarakat. Mereka tidak melihat apa yang harus dibuat untuk membangun wilayah yang dipimpinannya agar menjadi yang lebih baik.
Namun, mereka hadir dengan cara memanipulasi masyarakat menggunakan kekuatan retorika yang digunakan, agar masyarakat tidak menaruh sikap pesimistis pada mereka. Mereka mengumbar janji-janji kesejahteraan kepada masyarakat. Akan tetapi, ucapan tersebut hanyalah sebuah manipulasi atau omong kosong belaka.
Bertalian dengan ini, dosen Retorika Biara St. Karolus-Skalabrinian Ruteng, Wilie Preis Lerek dalam akhir pengajarannya selalu mengatakan kepada kami bahwa “bicara tanpa realisasi adalah omong kosong besar”. Janji-janji yang dicanangkan tak sepadan dengan realitas yang ada. Sebagai bukti, banyak kepala desa yang melakukan skandal seperti korupsi. Dengan berpijak pada statement tersebut, hemat penulis bahwa, pemimpin dengan tipe demikian termasuk dalam jenis pemimpin nepotisme.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa “nepotisme merupakan tindakan menomor satukan kepentingan sendiri”. Semisal, seorang pemimpin lebih mengutamakan keperluan keluarga daripada kebutuhan masyarakat yang sedang rindu pada sebuah kemajuan.
Di sini, keluarga menjadi pandangan pertama dan utama selama masa kepemimpinannya dibanding masyarakat. Pemimpin yang masih berbau keluarga dapat berdampak negatif pada kemajuan negara, khususnya masyarakat terkait. Pemimpin seperti ini, laksana anak kecil yang sulit berpisah dari ibunya. Anak kecil yang susah berpisah dari orang tua akan berpengaruh pada kelancaran pertumbuhan atau kehidupan sosial anak itu sendiri. Begitu pula pemimpin yang bersikap seperti anak kecil tersebut tak pantas untuk menjadi pelayan negara pada umumnya dan masyarakat pada khususnya.
Oleh karena itu, para pemimpin perlu refleksi mengenai eksistensi mereka sekarang. Apakah eksistensi mereka di kursi yang empuk itu karena suatu mukjizat belaka ataukah suatu mimpi yang menjadi real? Anda dipilih berdasarkan demokrasi rakyat bukan demokrasi keluarga.
Lain kalimat, anda menjadi pemimpin sebab semuanya ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’, bukan dari keluarga oleh keluarga dan untuk keluarga.
Mengapa pemimpin harus berefleksi? Karena jika ia tidak berefleksi mengenai eksistensinya sebagai pemimpin, maka ia akan menjanjikan sebuah janji yang begitu gampang untuk diucapkan dan ucapannya begitu manis dan tertata rapi. Namun, apa yang dikatakan sulit untuk direalisakan dalam bentuk tindakan nyata.
Jika hal demikian ia lakukan juga maka hasilnya bersifat piramida, seperti Ninety-Ten persen. Artinya, 90% dana akan diadopsi dari negara yang seharusnya digunakan untuk menghilangkan dahaga masyarakat digunakan untuk keperluan personal. Lalu, sisa dari dana tersebut yang 10% akan diberikan kepada masyarakat.
Lebih lanjut, dari hasil tersebut ia (pemimpin nepotisme) akan memanipulasi dokumen (data) dengan membuat laporan palsu kepada pihak berwenang, tapi realisasi lapangannya kosong atau tak ada hasil yang terdapat di lapangan.
Melihat realitas tersebut, Max Regux dalam bukunya ‘Tobat Politik’ menegaskan bahwa, “bersentuhan dengan penderitaan dan kemiskinan seharusnya menjadi skandal dan hal prima tumbuhnya kesadaran baru dalam diri pemimpin daerah”. Jika para pemimpin desa dewasa ini tak sepemikiran dengan Max Regus, maka hal ini tak ada faedahnya dan sia-sialah biaya yang diberikan negara kepada pemimpin terkait.
Sehubung dengan ini, Jhon F. Kennedy memberikan pandangan kritis-reflektif, bahwa “ Don’t ask what your country has done for you, but ask yourself what you have done for your country” yang artinya, Jangan tanyakan apa yang negara anda lakukan untuk anda, tapi tanyakan pada diri anda apa yang telah anda lakukan untuk negara anda.
Artinya, ia (pemimpin koruptor) tidak pernah memikirkan bahwa kehidupan yang masih mereka hidupi hingga saat ini juga adanya campur tangan dari negara. Namun hal ini tak pernah “terbayang” dalam benak para pemimpin koruptor.
Motivasi dalam mengambil keputusan sebagai seorang pemimpin di suatu daerah sangat berpengaruh dan menjadi penentu baik dan buruknya suatu daerah. Tumbuh-kembangnya suatu daerah menjadi baik, ketika daerah tersebut dipegang oleh pemimpin kreatif, jujur, tulus hati dan berinisiatif untuk hal-hal baik.
Ciri pemimpin yang demikian pada hakekatnya menjadi dasar yang kuat dalam menumbuh–kembangkan suatu daerah pimpinannya. Namun, apabila sebaliknya, maka daerah tersebut ibarat fondasi seunit rumah yang dibangun di tempat rawan longsor. Sebab, rumah itu tidak dapat bertahan lama, karena nasib rumah tersebut ditentukan oleh bencana longsor itu sendiri.
Begitupun nasib suatu daerah dapat mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan, apabila daerah tersebut dipimpim oleh “pemimpim yang tamak akan harta dan mengidap penyakit egoisme destruktif,” seperti yang dikutip dari bukunya Max Regus, tahun 2011 yang berjudul Tobat Politik.
Lebih lanjut, dalam buku yang sama Max Regus menerangkan bahwa “negara kita sedang mengidap penyakit egoisme destruktif”. Dalam artian bahwa negara Indonesia sedang dikuasai oleh para figur pemimpin destruktor. Jika negara (KPK atau pihak lain yang bertupoksi sebagai penegak keadilan sosial) membiarkan figur-figur seperti ini dalam jangka waktu panjang tanpa melakukan sesuatu untuk mengurangi (bila perlu menghilangkan) tindakan seperti ini, maka lambat laun tanpa disadari negara kita akan dihancurkan dan akan mengalami penenggelaman di berbagai aspek kehidupan. Hal demikian, sama halnya dengan penyakit HIV AIDS perlahan atau tanpa terburu-buru dan tak tersadarkan namun mematikan.
Penegak hukum harus lebih baik lagi untuk melihat dan menegakan keadilan yang adil di hadapan ketidakadilan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Keadilan inilah yang menjadi esensi tumbuh-kembangnya suatu daerah dan kehidupan masyarakat menjadi sejahtera.
Oleh karenanya, titik atau kunci kesejahteraan masyarakat dan terealisasinya visi-misi seorang pemimpin adalah relasi. Suatu relasi yang menjadi tolak ukur baik dan tidak baiknya suatu lembaga. Logikanya, seorang pemimpim yang ingin membangun sesuatu, apapun itu pertama-tama harus mengetahui objek yang ingin dibangun, karena ketika ia tak mengetahui objek yang ingin dibangun di masyarakat, maka akan melenceng atau tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Relasi yang baik adalah solusi terbaik pula menuju suatu kesejateraan bersama (Bonum Communae).
BACA JUGA:
* Menghabit Komunikasi Langsung di Era Digital || Dino Kese
* Fenomena Money Politic di Negara Demokrasi Jelang Pemilu
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh masyarakat dan pemimpin sebagai berikut.
Masyarakat (para pemilih)
Pemimpin yang baik diperoleh dari pemilih yang bijaksana juga. Artinya, pilihan masyarakatlah yang menjadi asas perwujudan aspirasi mereka sendiri. Hal ini yang harus diperhatikan masyarakat dalam memilih pemimpin. Kenali lebih dalam kriteria seorang calon pemimpin sebelum memilih, bukan memilih karena diuangi atau hubungan-hubungan tertentu.
Singkat kata, salah memilih akan menuai hasilnya begitu sebaliknya. Atau dalam istilah Atoen Meto (Dawan) salah dan benar dalam memilih “Nane ho derita”. Oleh karenanya, jadilah pemilih yang bijak dan bernilai sehingga tidak menyesal dikemudiaan hari.
Pemimpin
Anda perlu merefleksikan eksistensi sebagai pemimpin sekarang. Apakah eksistensi anda di kursi yang empuk ini karena suatu mukjizat belaka ataukah suatu mimpi yang menjadi real? Ingat! Keberadaan di kursi suatu lembaga sebagai seorang pemimpin karena Anda dipilih oleh publik.
Dalam artian bahwa, Anda menjadi pemimpin karena dipilih berdasarkan demokrasi rakyat bukan demokrasi keluarga. Lain kalimat, anda menjadi pemimpin sebab semuanya ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’, bukan dari keluarga oleh keluarga dan untuk keluarga.
Menjadi pemimpin seharusnya merakyat bukan karena tujuan tertentu. Tetapi karena kemauan sendiri bukan dipaksa oleh situasi dan kondisi (sikon) belaka. Merakyat juga bukan hanya ketika menjadi calon pemimpin, namun hal tersebut harus ditanamkan dalam diri pemimpin kapan saja dan di mana saja. (Red.pikirindu)
Penulis merupakan seminaris Scalabrinian Ruteng